Bulan Ramadhan adalah
waktu yang paling tepat untuk kembali berbaur ke lingkungan. Sore itu, saya
berangkat ke musholla, biasalah.. mengisi acara takjilan (yang pada
kenyataannya sampai Ramadhan hari ke-17 ini, kehadiran saya di musholla cuma
tiga kali) Diperjalanan menuju musholla, di lapangan dekat rumah ada sekitar
lima belas anak laki-laki berlarian setelah salah seorang dari mereka membakar
petasan.
DORRRRRR!
Ledakan petasan itu
diikuti oleh canda tawa anak anak yang berlarian tadi. Mereka berlari karena
ketakutan, tapi juga tertawa kegirangan. Sungguh, dunia anak-anak sangat
menyenangkan.
Tak jauh dari anak-anak
yang sedang bermain tadi, ada seorang anak yang duduk sendiri di bok
selokan (nggak tau bahasa indonesianya L ). Ia asik dengan karet gelangnya. Berhubung acara
takjilan masih belum dimulai, saya mencoba untuk menghampirinya. Saat saya
sampai di dekatnya, ia terkejut. Lalu tersenyum dan mulai mengajak saya bermain
karet gelangnya.
“Kok gak ikut main sama
temen-temennya?” tanya saya sambil membentuk karet gelang menjadi bintang. Kemampuan
bermain karet gelang saya cukup memprihatinkan. Tangan ini cuma bisa membentuk
bintang dan balon udara.
“Mbak liat yang pake
baju putih itu? Dia dulu temenku, tapi ngambil karetku tanpa bilang. Aku gak
mau deket-deket sama dia” jawabnya polos. Saya terkejut. Bukan karena
jawabannya, tapi karena dia membentuk pesawat dengan karet gelangnya. Bagaimana
bisa karet gelang dapat menjadi bentuk seperti itu.
“Kamu marahan sama
dia?” saya meletakkan karet gelangnya, saya menyerah.. jelas saya kalah telak
dalam bidang ini.
“Enggak. Aku enggak
marah. Cuma pengen dia minta maaf duluan atau kalau nggak yaaa ngajak aku main
lah.”
“Gak boleh gitu, dong.
Sama temen harus saling memaafkan. Mungkin dia gak tau kalau itu karet kamu.”
“Dia juga gak pernah
ngajak aku main lagi, mbak.”
“Setelah dia ngambil
karetku, dia juga ngambil coklatku, ngambil rotiku, pokoknya dia selalu ambil
semua yang aku punya.”
“Kenapa kamu gak bilang
sama dia kalau kamu marah?”
“Aku gak bisa
ngomongnya, Mbak.”
Gak bisa ngomongnya.
Memang terkadang yang membuat suatu hubungan rusak itu bukan hilangnya cinta, bukan lenyapnya perhatian, tapi lebih ke buruknya komunikasi.
Saya seringkali merasa
iri kepada orang yang mudah meluapkan emosi. Entah itu berteriak, memaki,
menangis atau membanting barang-barang.
Berteriak seperti orang
gila. Mencaci seperti Hwang Jin Hee (salah satu karakter di film Sunny). Tetapi setelah mereka puas
meluapkan emosinya, mereka akan bersikap biasa saja. Menakjubkan.
Saya hanya bisa diam
ketika saya marah. Inilah masalahnya, beberapa kemarahan saya tuh menetap dalam
diri. Meresap dalam sanubari. Menyatu dalam jiwa. (#hadeh)
Seperti cuaca dimusim pancaroba, suasana diri ini
sangat mudah berganti-ganti. Pagi nya bisa sangat cerah, tapi siangnya bisa
hujan petir. Sayangnya, diri ini belum bisa ngatasin hujan-petir sendirian, lha wong saya bukan pawang hujan.
Kamu cukup nunggu hujan-petirnya reda, jangan hujan-petirnya malah kamu bales
sama ion negatif, ntar malah jadi gluduk. Kalau jadi gluduk, ntar budeg. Kalau
budeg ntar gak nyapa (#EH APA INI)
Hanya saja, kenapa
manusia nggak sadar kalau sudah menyakiti orang lain?
Mengutip dari novel “Unfriend You” karya Dyah Rinni, “Aku
adalah noda untuk dosa yang tak kulakukan. Aku mencoba bertahan, berusaha
mengerti, mungkin ada bagian dari dirimu yang tak bisa kuraih. Namun, yang tak
kunjung kupahami, mengapa ada persahabatan yang menyakiti?”
Tapi, terkadang
kesedihan datang karena manusia mengabaikan kebahagiaan. Mengutip lirik lagu
dari idolgrup jepang yang sudah diterjemahkan, “Meski ada hal sedih, ataupun hal
yang memberatkan, tak apa asal yang bahagia lebih banyak.” Berdasarkan
lirik tersebut, kita diajak untuk selalu bahagia walau kadang ada aja yang
ngeselin. Katanya jangan biarkan harimu hancur karena satu kesedihan. Masih
dengan idolgrup yang sama, “walau seberat apapun, kesedihan tak
berlanjut selamanya”
Btw, bulan ramadhan
begini, ajakan bukber pasti datang silih berganti (yaa walaupun pada akhirnya
tetap #TeamWacana). Pernah gak sih ketika gak sengaja makan di suatu tempat dan
ternyata dulu kita pernah makan di tempat itu juga, tentunya dengan suasana
yang berbeda. Tempat yang sama, menu yang sama, namun hanya teman tertawa yang kini
tak lagi sama.
Untuk apa yang sudah terjadi,
biarlah terjadi. Untuk apa yang belum terjadi, jangan ditakuti lagi.
don’t ever give up on
me.
Hubungan antar manusia memang merepotkan, tapi kita
tak bisa hidup sendiri.
-Selesai diedit tanggal
13 Juni 2017 pukul 16:56-
I like it! Pengalaman saya sih, saya pernah marah sama temen kerja. Saya enggak bisa bilang saya gak suka apa yang dia lakukan sama saya karena dia enggak mau mendengar saya. Akhirnya saya curhat di blog dan minta dia baca. Eh setelah itu dia minta maaf dan yah kita saling maafan. Ada juga yang udah baca, terus sikapnya 180 derajat berubah. Well, sometimes unspoken words are louder. Intinya memang komunikasi. :D
BalasHapusWah sayangnya temen saya gak minta maaf setelah baca post saya di blog. mungkin karena udah terlalu lama marahan jd kesempatan utk baikannya dikit banget. :" tapi hidup mesti berjalan hehe terimakasih sharingnya mbak :D
Hapus